Featured Post

Istighfar Sang Penjual Roti
Bismillahirrahmanirrahim Kisah ini kami ambil dari satus salah satu teman di sosial media Facebook dan kami posting kembali di blog i...

Bismillahirrahmanirrahim
Kisah ini kami ambil dari satus salah satu teman di sosial media Facebook dan kami posting kembali di blog ini. Berikut kisahnya.
Imam Ahmad bin Hambal Rahimakumullah (murid Imam Syafi'i) dikenal juga sebagai Imam Hambali. Dimasa akhir hidupnya beliau bercerita,
Imam Ahmad bin Hambal Rahimakumullah (murid Imam Syafi'i) dikenal juga sebagai Imam Hambali. Dimasa akhir hidupnya beliau bercerita,
Suatu waktu (ketika saya sudah usia tua) saya tidak tau kenapa ingin sekali bepergian menuju satu kota di Irak. Padahal tidak ada janji sama orang dan tidak ada keperluan. Akhirnya Imam Ahmad pergi sendiri menuju ke kota Bashrah.
Beliau bercerita, "Begitu tiba disana waktu Isya', saya ikut shalat berjamaah isya di masjid, hati saya merasa tenang, kemudian saya ingin istirahat." Begitu selesai shalat dan jamaah bubar, imam Ahmad ingin tidur di masjid, tiba-tiba Marbot masjid datang menemui imam Ahmad sambil bertanya; "Kamu mau ngapain disini, syaikh?."
Kata "syaikh" bisa dipakai untuk 3 panggilan :
1. Bisa untuk orang tua
2. Orang kaya ataupun
3. Orang yang berilmu.
Panggilan Syaikh dalam kisah ini adalah panggilan sebagai orang tua, karena Marbot masjid taunya Musafir yang ingin tidur di masjid tersebut adalah orang tua. Marbot tidak tahu kalau beliau adalah Imam Ahmad. Dan Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan siapa dirinya. Di Irak, semua orang kenal siapa imam Ahmad, seorang ulama besar & ahli hadits, sejuta hadits dihafalnya, sangat shalih & zuhud. Zaman itu tidak ada foto sehingga orang tidak tahu wajahnya, cuma namanya sudah terkenal.
Imam Ahmad menjawab, "Saya ingin istirahat, saya musafir." Kata marbot, "Tidak boleh, tidak boleh tidur di masjid."
Imam Ahmad bercerita, "Saya didorong-dorong oleh orang itu (Marbot masjid) disuruh keluar dari masjid, Setelah keluar masjid, dikuncinya pintu masjid. Lalu saya ingin tidur di teras masjid." Ketika sudah berbaring di teras masjid Marbotnya datang lagi, marah-marah kepada Imam Ahmad. "Mau ngapain lagi syaikh?" Kata marbot. "Mau tidur, saya musafir." Kata imam Ahmad.
Lalu marbot berkata, "Di dalam masjid gak boleh, di teras masjid juga gak boleh." Imam Ahmad diusir. Imam Ahmad bercerita," saya didorong-dorong sampai di jalanan."
Di samping masjid ada penjual roti, rumahnya kecil selain sebagai tempat tinggal sekaligus juga sebagai tempat untuk membuat dan menjual roti. Penjual roti ini sedang membuat adonan, sambil melihat kejadian imam Ahmad didorong-dorong oleh marbot tadi. Ketika imam Ahmad sampai di jalanan, penjual roti itu memanggil dari jauh, "Mari syaikh, anda boleh nginap di tempat saya, saya punya tempat, meskipun kecil."
Kata imam Ahmad, "Baik". Imam Ahmad masuk ke rumahnya, duduk dibelakang penjual roti yg sedang membuat roti (dengan tetap tidak memperkenalkan siapa dirinya, hanya bilang sebagai musafir). Penjual roti ini punya perilaku khas, kalau imam Ahmad mengajaknya bicara, dijawabnya. Kalau tidak, dia terus membuat adonan roti sambil terus-menerus melafalkan istighfar "Astaghfirullah." Saat memberi garam, "Astaghfirullah," memecah telur "Astaghfirullah," mencampur gandum "Astaghfirullah." Dia senantiasa mengucapkan istighfar. Sebuah kebiasaan mulia. Imam Ahmad terus memperhatikannya.
Lalu imam Ahmad bertanya, "sudah berapa lama kamu lakukan kebiasaan yang mulia ini?" Orang itu menjawab, "Sudah lama sekali syaikh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya melakukannya." Imam Ahmad bertanya lagi, "Apa hasil dari perbuatanmu ini?" Orang itu menjawab, "Lantaran wasilah istighfar, tidak ada hajat atau keinginan yang saya minta, kecuali pasti dikabulkan Allah. Semua yang saya minta ya Allah...., langsung diijabah."
Rasulullah pernah bersabda;
"Siapa yg menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rizki dari jalan yg tidak disangka-sangkanya."
Lalu orang itu melanjutkan, "Semua dikabulkan Allah kecuali satu, masih satu yang belum Allah beri." Imam Ahmad penasaran lantas bertanya, "Apa itu?" Kata penjual roti itu, "Saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan imam Ahmad."
Seketika itu juga imam Ahmad bertakbir, "Allahu Akbar..! Allah telah mendatangkan saya jauh dari Bagdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid sampai ke jalanan ternyata karena ISTIGHFARMU." Penjual roti itu terperanjat, memuji Allah, ternyata orang tua yang berada didepannya saat ini adalah Imam Ahmad. Ia pun langsung memeluk dan mencium tangan Imam Ahmad sambil bertasbih dan mengucap syukur "Subhanallah..!, Alhamdulillah..!" (diambil dari: Kitab Manakib Imam Ahmad)
Wallohu a'lam
Saudaraku dan sahabatku tercinta, mulai detik ini marilah senantiasa kita hiasi lisan kita dengan ISTIGHFAR kapanpun dan di manapun kita berada. Jangan biarkan postingan artikel ini terputus, bagikanlah sebanyak-banyaknya. Semoga Alloh merohmati kita semua, Aamiin...!

Bismillahirrahmanirrahim
Sumber-sumber sejarah mengisahkan, ketika Rasulullah SAW mengizinkan wanita untuk ikut berperang, tak ayal beberapa wanita Muhajirin dan Anshar turut berpartisipasi dalam Perang Uhud. Mereka membawa obat-obatan, air dan makanan di punggung mereka. Di antara mereka yang ikut adalah Fatimah Az-Zahraa' putri Rasulullah SAW.
Fatimah turut bersama beberapa wanita dalam perang Uhud menyertai ayahanda dan sang suami, penunggang kuda dan panglima perang yang hebat itu. Saat itu belum lewat setahun dari pernikahannya dengan Ali bin Abu Thalib, sebab ia menikah sesaat setelah perang Badar tahun kedua Hijriyah, sedangkan perang Uhud terjadi setahun kemudian.
Kaum muslimin terlibat perang hebat menghadapi para pemimpin kafir dan musyrik yang datang hendak menghancurkan pasukan Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Hati mereka penuh dengan kebencian dan dendam akibat kekalahan yang mereka alami ketika Perang Badar.
Pertempuran semakin sengit dan hampir saja panji-panji kemenangan berpihak pada pasukan kaum muslimin. Akan tetapi kemudian pasukan pemanah meninggalkan gunung dan tidak menghiraukan instruksi Rasulullah untuk tidak meninggalkan pos mereka dan tetap melindungi bagian belakang pasukan kaum muslimin, apapun yang terjadi. Namun ketika mereka melihat peluang kemenangan, maka mereka segera berhamburan meninggalkan posisi mereka di atas gunung.
Kesempatan tersebut dimanfaatkan pihak musuh sehingga dengan cepat datanglah pasukan musyrik dari arah belakang. Pasukan kaum muslimin akhirnya terjebak di antara dua celah gunung. Dan Ali bin Abu Thalib, pada pertempuran ini menjadi pahlawan sejati. Dari serangannya yang dahsyat dan gencar kepada pasukan kafir, ia sering memenggal leher, menggentarkan mental dan pikiran musuh.
Pada hari itu, datanglah beberapa tokoh Quraisy dengan membawa rencana jahat, mereka mengepung Nabi SAW. Di antara mereka ada empat orang yang saling bersumpah untuk membunuh Rasulullah SAW bagaimanapun sulitnya keadaan. Mereka adalah Amr bin Qami'ah, seorang musuh Allah, Ubay bin Khalaf 'Utbah bin Abu Waqqash dan Abdullah bin Syihab Az-Zuhri.
Abdullah bin Syihab berhasil melukai Nabi SAW, ketika ia menghajar kening beliau yang mulia hingga darah pun mengalir ke wajah beliau. "Utbah bin Abu Waqqash melukai bibir bawah dan menjatuhkan gigi depan beliau yang sebelah kanan.
Di antara mereka yang paling kuat kekafirannya dan paling banyak kejahatannya adalah Amr bin Qami'ah yang menyabet pundak Nabi SAW dengan pedang dan juga mengenai pipi beliau yang mulia. Nabi sendiri merasakan sakit akibat serangan orang-orang terlaknat itu.
Lalu tiba giliran yang terakhir dari orang-orang kafir itu, yaitu Ubay bin Khalaf, yang hendak mencekik Nabi SAW dan membanting beliau. Namun Rasulullah SAW lebih dahulu menusuknya dengan belati yang mengenai lehernya, sehingga menyebabkan kematiannya, saat ia dalam perjalanan pulang kembali ke Makkah.
Fatimah Az-Zahraa' yang melihat darah mengalir dari wajah ayahanda tercinta, langsung memeluk beliau dan mengusap darah yang ada pada wajah beliau yang mulia itu. Ia mendengar ayahandanya, Rasulullah SAW berkata, "Murka Allah akan menghebat kepada kaum yang telah membuat wajah Rasulullah berdarah, dan bahwa Allah akan menolong Nabi-Nya serta memenangkan pasukan-Nya seberapapun besar kekuatan orang-orang musyrik itu."
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa'ad, ia berkata, "Rasulullah terluka dan gigi depan beliau sampai pecah. Fatimah binti Rasulullah lalu mencuci darah itu dan Ali menuanginya dengan air dari perisai. Ketika Fatimah sadar bahwa air justru akan semakin menambah perdarahan maka ia pun mengambil sepotong tikar yang kemudian dibakarnya. Ketika telah menjadi abu, abu tersebut ditempelkannya pada luka Rasulullah. Tersumbatlah darahnya." Setelah itu, Fatimah Az-Zahraa' senantiasa merawat ayahanda yang mulia itu hingga beliau sembuh dari lukanya.
Perang uhud tidak menjadi akhir perjuangan bagi Fatimah. Ia juga terlibat dalam Perang Khandaq dan Perang Khaibar pada tahun ke-7 Hijriyah, dimana ia berangkat bersama dengan suaminya Ali bin Abu Thalib sang pahlawan umat Islam dan ayahanda Rasulullah SAW. Bagian yang didapatkan Fatimah dari rampasan perang adalah 85 wasaq gandum Kaibar.
Kehidupan Fatimah Az-Zahraa' adalah kehidupan zuhud dan serba memprihatinkan yang membuatnya menjadi begitu tabah dan tegar. Demikian juga Ali bin Abu Thalib sang suami, padahal keduanya adalah termasuk orang-orang yang paling dicintai Rasulullah SAW. Pernah selama berhari-hari, keduanya tidak mempunyai makanan untuk sekedar mengganjal perut atau menghilangkan rasa perih akibat lapar. Ali bin Abu Thalib mengatakan, "Beberapa hari aku tidak mempunyai apapun. Begitu juga Rasulullah. Lalu aku keluar rumah, di jalan aku menemukan uang satu dinar yang jatuh di jalan. Aku pun diam sesaat untuk mempertimbangkan, apakah mengambilnya ataukah membiarkannya. Akhirnya aku memilih mengambilnya, mengingat keprihatinan yang menimpa kami. Lalu aku menyerahkannya kepada seorang penjual tepung untuk mendapatkan tepung. Kemudian aku memberikan tepung itu kepada Fatimah. Aku berkata, "Jadikan adonan dan buatlah roti". Fatimah lalu membuat adonan roti dan rambut depan Fatimah mengenai pinggir-pingir baskom akibat kepayahan yang dialaminya. Ia pun membuat roti. Kemudian aku mendatangi Nabi SAW dan menceritakan hal itu kepada beliau. Beliau mengatakan, "Makanlah, karena itu adalah rezeki yang diberikan oleh Allah kepada kalian."
Hidup dalam keprihatinan tidak membuat Fatimah Az-Zahraa' menjadi orang yang suka mengeluh. Sebab ia adalah wanita mukmin yang menerima apa adanya, berpegang teguh pada ajaran-ajaran ayahanda tercinta yang pernah mengatakan, "Alangkah beruntungnya orang-orang yang mendapat hidayah kepada Islam dan hidup dalam keadaan pas-pasan namun menerima apa adanya."
Fatimah mendengar sendiri secara langsung Rasulullah mengatakan, "Wahai manusia, perbaguslah usaha kalian dalam mencari rezeki. Karena tidak didapatkan oleh seorang hamba kecuali apa yang telah ditetapkan baginya di dunia. Dan tidak ada seorang hamba pun meninggal dunia sampai ia mendapatkan apa yang telah ditetapkan baginya. Dan dunia ini adalah hina."
Fatimah juga selalu mengingat kata-kata Rasulullah SAW, ayahanda yang agung itu mengatakan, "Sesungguhnya Jibril telah menyampaikan pada hatiku bahwa salah seorang dari kalian tidak akan keluar dari dunia (meninggal dunia) sampai disempurnakan rezekinya. Maka bertaqwalah kepada Allah wahai manusia dan perbaguslah dalam mencari rezeki. Ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram."
Sumber: Anak Cucu Nabi. Oleh: Syaikh Abdul Mun'im Al-Hasyimi. Hal.: 143-147
Kisah Kisah Islami
10.51
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Partisipasi Fatimah Az-Zahraa' Dalam Perang uhud
Posted by Hairul Rantesigi on Kamis, 19 Januari 2017

Bismillahirrahmanirrahim
Beberapa hari sebelum kematiannya, Umar bin Khattab bertanya kembali kepada Hudzaifah bin Yaman tentang orang yang disebut Rasulullah SAW termasuk dalam golongan orang-orang munafik. Umar berkata, "Aku bersumpah kepadamu, apakah Rasulullah SAW memasukkan aku dalam nama-nama orang munafik?" Hudzaifah lalu menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, sudah aku katakan kepadamu bahwa Rasulullah SAW tidak memasukkanmu ke dalam golongan orang-orang munafik." Umar kemudian berkata, "Segala puji bagi Allah."
Kemudian ia menatap Hudzaifah, "Beritahukan kepadaku tentang fitnah yang akan menenggelamkan umat!" Hudzaifah kemudian berujar, "Sesungguhnya antara dirimu dan fitnah tersebut terdapat pintu yang menutup selama engkau hidup." Umar lantas berkata, "Wahai Hudzaifah, apakah pintu itu akan dibuka ataukah dirobohkan?" Hudzaifah menjawab, "Pintu itu akan dirobohkan!" Umar bin Khattab kemudian berkata lagi, "Jikalau begitu, ia tidak akan kembali ke tempatnya." Hudzaifah menimpali, "Benar, wahai Amirul Mukminin." Setelah itu Umar berdiri dan menangis. Lalu orang-orang bertanya kepada Hudzaifah tentang fitnah dan pintu itu. Hudzaifah menjawab, "Pintu itu adalah Umar. Jika Umar bin Khattab meninggal, maka pintu fitnah itu akan dibuka."
Diantara sebagian sahabat, Mughirah bin Syu'bah memiliki seorang budak yang bernama Fairuz yang dijuluki dengan sebutan Abu Lu'lu'ah Al-Majusi. Pada suatu hari, Abu Lu'lu'ah mengadu kepada Amirul Mukminin bahwa uang yang dipatok Mughirah untuk pekerjaannya sangat besar, sedangkan ia tidak mampu membayarnya. Umar bin Khattab kemudian berkata, "Harga ini cukup, takutlah kepada Allah dan berbuat baiklah pada tuanmu."
Abu Lu'lu'ah Al-Majusi kemudian pergi mengadukan Amirul Mukminin kepada orang-orang bahwa ia telah berbuat adil kepada seluruh manusia kecuali kepada dirinya. Dia berkata, "Umar telah memakan hatiku!" Dari sinilah, sebuah konspirasi berawal, yang dipelopori oleh empat orang. Abu Lu'luah adalah salah satu dari empat sumber konspirasi tersebut. Dua orang lainnya sebagai Majusi dan Yahudi.
Pada suatu hari tatkala Al-Faruq bersama sahabatnya, ia melihat Abu Lu'lu'ah. Lantas Umar berkata kepadanya, "Aku telah mendengar bahwa engkau mampu membuat penggilingan yang dapat digerakkan dengan angin." Kemudian Abu Lu'lu'ah memandang Amirul Mukminin dan berkata, "Aku akan membuatkan untukmu penggilingan yang bisa berbicara dengan manusia." Mendengar itu para sahabat merasa senang.
Umar bin Khattab kemudian berkata kepada mereka, "Apakah kalian merasa senang?" Mereka menjawab, "Ya!" Umar kemudian berkata, "Sesungguhnya ia mengancam hendak membunuhku." Mendengar penjelasan Umar, para sahabat lalu berkata, "Kalau begitu kita bunuh saja ia!" Umar berkata, "Apakah kita hendak membunuh sesorang dengan prasangka? Demi Allah, aku tidak akan bertemu dengan Allah sedangkan di leherku terdapat darah lantaran prasangka." Mereka berkata, "Jika begitu kita lenyapkan saja dia." Umar berkata lagi, "Apakah aku akan berbuat zalim terhadap seseorang dan mengeluarkannya dari dunia lantaran prasangkaku bahwa dirinya akan membunuhku? Sekiranya Allah hendak mencabut nyawaku melalui kedua belah tangannya, niscaya urusan Allah itu merupakan takdir yang telah digariskan."
Suatu hari, tatkala Umar bin Khattab sedang mengimami Shalat Subuh berjamaah di Masjid Nabi, terjadilah bencana besar itu. Allah SWT telah mengabulkan doa Umar, yaitu dengan mencabut nyawanya di kota Rasul sebagai syahid dengan keutamaan yang paling utama. Sebab dirinya tidak saja memperoleh kesyahidan di kota Rasul, akan tetapi ia berada di dalam masjid, mihrab, Raudah Nabi Muhammad SAW. Saat itu ia sedang mengerjakan Shalat Subuh dengan para sahabat.
Seorang Tabiin yang bernama Amru bin Maimun Al-Masyad menceritakan, "Ketika aku sedang berdiri di shaf kedua, sedangkan antara dirik dan Amirul Mukminin tidak ada seorangpun selain Abdullah bin Abbas. Ketika lampu di masjid tiba-tiba mati. Amirul Mukminin kemudian mengankat takbir memulai shalat. Sebelum ia membaca Al-Fatihah, seorang Majusi maju menghampirinya lalu menikamnya sebanyak enam kali tikaman." Setelah itu, Umar berteriak, "Dia telah membunuhku." Kemudian para sahabat menyerang Abu Lu'lu'ah dan ia pun menyerang jamaah membabi buta ke kanan dan ke kiri. Lalu, Abdurrahman bin Auf segera menelungkupkan mantelnya ke arah Abu Lu'lu'ah. Dengan begitu Abu Lu'lu'ah baru sadar bahwa dirinya telah tertangkap dan tidak bisa berkutik, sehingga ia menikam dirinya sendiri dan akhirnya ia pun mati.
Umar bin Khattab meminta Abdurrahman bin Auf untuk memimpin Shalat Subuh. Dengan darah yang semakin deras mengalir, Umar kemudian menanyakan Abdullah bin Umar. Maka datanglah Abdullah dan meletakkan kepala ayahnya di pangkuannya. Lalu ayahnya berkata, "Wahai anakku, letakkan pipiku di atas tanah semoga Allah mengasihiku, jika aku telah mati pejamkanlah mataku dan sederhanakanlah kain kafanku. Sebab, jika aku menghadap Rabbku sedangkan Dia ridha terhadapku, maka Dia akan mengganti kain kafan ini dengan yang lebih baik, sedangkan jika Dia murka kepadaku, maka Dia akan melepasnya dengan keras." Setelah itu ia pun jatuh pingsan.
Ketika Umar bin Khattab siuman Ibnu Abbas berkata, "Shalatlah!, wahai Amirul Mukminin." Al-Faruq menoleh ke arahnya seraya berkata, "Aku hendak berwudhu untuk mengerjakan shalat." Mereka kemudian membangunkan Umar untuk wudhu, sedangkan lukanya terus mengeluarkan darah.
Setelah Umar bin Khattab selesai shalat, Ibnu Abbas berkata, "Wahai Amirul Mukminin, orang yang mencoba membunuhmu adalah budak milik Mughirah bin Syu'bah, yaitu Abu Lu'lu'ah." Umar bin Khattab kemudian berkata, "Segala puji bagi Allah, bahwa dia telah menjadikanku terbunuh di tangan seorang yang tidak pernah bersujud kepada Allah sama sekali. Semoga hal itu menjadi penuntut atasnya pada hari akhir kelak. Apakah ia telah bersepakat dengan salah seorang dari kaum muslimin?" Ibnu Abbas lantas keluar seraya bertanya kepada kaum muslimin, "Wahai kaum muslimin sekalian! Apakah ada seorang diantara kalian yang bersekongkol dengan Abu Lu'lu'ah?"
Mendengar hal itu, tangis kaum muslimin makin keras. Mereka berkata, "Demi Allah, sungguh kami ingin menambahkan umur kami kepada Umar bin Khattab." Kaum wanita pun berkata, "Demi Allah, kematian anak-anak kami lebih kami sukai daripada matinya Umar bin Khattab."
Abdullah bin Abbas kemudian masuk menemui Umar bin Khattab lalu mengusap dada Al-Faruq seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, tenanglah. Engkau telah berhukum dengan kitab Allah dan engkau telah berlaku adil kepada sesama." Mendengar hal itu Umar tersenyum lalu berkata, "Apakah engkau bersaksi untukku dengan hal ini pada hari kiamat kelak?" Ibnu Abbas kemudian menangis. Umar lalu menepuk bahunya seraya berkata lagi, "Apakah engkau akan bersumpah untukku pada hari kiamat kelak bahwa aku telah berhukum dengan kitab Allah dan berlaku adil?" Ibnu Abbas lalu menjawab, "Aku akan bersaksi untukmu wahai Amirul Mukminin." Ketika itu Ali bin Abu Thalib menimpali, "Dan aku akan bersaksi pula untukmu, wahai Amirul Mukminin."
Umar bin Khattab kemudian berkata, "Lalu bagaimana dengan hutang-hutangku? Akau takut bila menghadap Allah, sedangkan aku masih memiliki hutang." Kemudian para sahabat menghitung semua hutang-hutangnya. setelah usai menghitung, terbilanglah bahwa hutangnya sebanyak delapan puluh enam ribu dirham.
Setelah itu, para sahabat mengumpulkan harta mereka untuk melunasi hutang-hutang Umar bin Khattab hingga ketika ia bertemu dengan Allah, ia tidak memiliki hutang. Sepekan setelah kematian Umar, terkumpullah harta tersebut lalu dibayarkan kepada Khalifah Utsman bin Affan, sehinga setelah itu Umar bin Khattab telah terbebas dari tanggungan hutang mana pun.
Pada detik-detik terakhir kematian Umar bin Khattab, ia meminta puteranya menghadap Ummul Mukminin Aisyah ra. untuk meminta izin agar setelah kematiannya nanti ia dikuburkan di dekat makam Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Ia berkata kepada puteranya, "Katakanlah kepada Aisyah ra., Umar meminta izin dan jangan engkau katakan Amirul Mukminin meminta izin. Sebab aku tidak patut sebagai pemimpin bagi kaum muslimin. Dan katakan kepadanya bahwa Umar tidak akan merasa tenang sehingga ia dikuburkan di dekat makam kedua sahabatnya dan ia meminta izin kepadamu. Jika ia mengizinkanku, maka segeralah datang kemari menemuiku!"
Ketika Abdullah bin Umar tiba di tempat Ummul Mukminin, ia mendapatinya tengah menangis. Aisyah sadar, kematian Umar itu sama halnya dengan terbukanya pintu-pintu fitnah. Ibnu Umar kemudian berkata kepadanya, "Dia meminta kepadamu agar ia dikuburkan di dekat makam kedua sahabatnya." Mendengar hal itu Aisyah menjawab, "Sebenarnya aku ingin agar tempat itu untukku. Jika Umar menginginkannya, maka aku mengutamakan dirinya daripada diriku."
Setelah itu, Abdullah bin Umar kembali menemui bapaknya untuk memberi kabar gembira. Umar bertanya kepadanya, "Apa yang ia katakan padamu wahai Ibnu Umar?" Abdullah menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, aku beritahukan kabar gembira untukmu bahwa ia telah mengizinkanmu." Mendengar hal itu Umar berkata, "Alhamdulillah." Lalu ia kembali berkata, "Wahai Ibnu Umar! Jika aku telah mati bawalah aku dan baringkanlah aku di depan pintu Aisyah lalu katakanlah bahwa Umar meminta izin. Boleh jadi ia mengizinkanku ketika aku masih hidup karena merasa malu kepadaku."
Sebelum Umar bin Khattab meningal, ia telah memilih enam orang diantara para sahabat yang akan menggantikannya menjadi khalifah. Mereka adalah, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abu Waqash dan Abdurrahman bin Auf. Ketika puteranya diusulkan menjadi salah satu dari dewan syura, ia berkata, "Cukuplah satu saja keluarga Umar bin Khattab yang akan ditanya tentang urusan manusia pada hari kiamat kelak."
Umar bin Khattab meninggal pada hari Rabu, tangal 23 Dzulhijjah. Tepatnya, pada tahun 23 Hijriyah. Seluruh penduduk Madinah menangisi kepergiannya, dan ia dikuburkan di dekat makam kedua sahabatnya.
Sumber: Jejak Para Khalifah. Oleh: Amru Khalid. Hal.: 146-154
Kisah Kisah Islami
11.43
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Hari ini, 20 Ramadhan 1437 Hijriyah, Hudan kembali berdiri di depan Ka'bah. Tangannya gemetar menengadah. Bibirnya bergerak-gerak tanpa suara. Matanya tak berkedip dengan air mata berhamburan membanjiri pipi kanan dan kiri. Perlahan ia menurunkan lututnya, bersimpuh tampak rapuh. Tetapi di dalam dada keimanannya semakin penuh.
Hudan teringat kembali tiga tahun lalu, ketika ia berangkat ke Tanah Suci hanyalah mengikuti kemauan istrinya yang ingin berwisata religi. Itu adalah keinginan yang aneh bagi Hudan. Bagaimana sebuah keyakinan bisa menjadi rekreasi? Bukankah religi atau agama itu adalah keyakinan untuk menyembah dan berpasrah kepada Tuhan?
Apakah wisata religi itu? Apakah hanya jalan-jalan ke Tanah Suci menikmati keindahan kota Makkah?
Ketika berada di pesawat menuju Jeddah, isterinya bercerita bahwa ia ingin seperti ibu-ibu yang lain, menjalankan Umrah bersama suami, itu saja. Hudan merasa bertambah aneh dengan pemikiran isterinya itu.
"Jadi, kita pergi ke Makkah ini hanya soal gengsi?"
"Iyalah Papa. Kita ini orang kaya. KTP kita juga Islam. Walaupun kita tidak pernah menjalankan perintah agama, tidak ada salahnya kita menunjukkan kepada orang-orang bahwa kita juga bisa agamis. Ya, menurutku begini ini caranya."
"Kamu sudah gila, Ma! Pulang pergi Jakarta - Jeddah itu mahal. Belum lagi biaya hotel, dan kamu menghabiskannya untuk satu kata, gengsi!"
"Eh.., itu juga bisa menaikkan derajat kita, Pa! Selama ini orang mengenal keluarga kita kan keluarga rentenir. Dengan pergi ke Makkah seperti ini, orang-orang akan tahu bahwa kita juga memiliki sisi religius."
"Tapi tidak harus buang-buang uang begini kan?"
"Buang Uang? Jadi, Papa merasa rugi mengikuti keinginan Mama? Apa sih maunya Papa ini?
Perjalanan ini akhirnya dipenuhi dengan pertengkaran. Sampai mereka turun dari pesawat, pertengkaran masih terus berlanjut. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah hotel bintang lima tempat mereka menginap. Dengan rasa kesal yang mendalam, tanpa sepatah kata pun isteri Hudan keluar kamar. Hudan terpaku sendiri, ia merasa tidak bersalah karena ia hanya ingin mengajari isterinya berhemat dan efisien dalam menggunakan uang.
Selama ini Hudan tidak pernah terlibat bisnis produktif, kecuali satu-satunya usaha yang digeluti Hudan adalah bisnis rente, membungakan uang. Ia dapat dengan mudah melipatgandakan uangnya tanpa resiko kebangkrutan. Ia pintar memilih mangsa yang bisa dihisap darahnya sampai habis.
Adalah Turam, seorang tuan tanah yang takluk di bawah kaki Hudan. Sebagian besar tanah milik Turam sudah jatuh ke tangan Hudan akibat bunga pinjaman. Sore itu adalah hari naas, awal mula kehancuran bagi Turam dan keluarganya.
Ketika itu, anak laki-laki Turam baru saja dibelikan motor baru. Sebuah motor besar 250 CC yang lagi hits di kalangan remaja. Namun musibah tidak dapat dihindarkan. Anak laki-laki Turam terlibat kecelakaan, ia tidak dapat mengendalikan kecapatan motor barunya, ia menabrak rumah tetangganya. Anak laki-laki Turam terluka cukup parah pada bagian dada, motor barunya ringsek dan ia pun dilarikan ke rumah sakit.
Kondisi anak Turam sangat kritis dan butuh penangan serius, dokter yang menanganinya sesegera mungkin harus melakukan pembedahan pada organ dada untuk menyelamatkan nyawa anak Turam. Pihak rumah sakit meminta dana awal seratus juta rupiah, yang harus disediakan paling tidak satu jam kedepan. Pembedahan dada akan melibatkan beberapa dokter ahli dengan peralatan yang super canggih. Itulah penyebab pihak rumah sakit meminta dana awal yang besar. Pada kesempatan yang sempit inilah Turam dicekik Hudan.
"Halo, Hudan!," Turam menyapa melalui ponselnya. "Halo, ada apa?" Respon Hudan. "Aku dalam keadaan kepepet, Aku butuh seratus juta rupiah sekarang!" balas Turam. "Aku tidak meminjamkan uang sebanyak itu tanpa jaminan dan bunga yang besar," kata Hudan. "Apa yang kau minta? Anakku sedang sekarat di rumah sakit. Cepatlah katakan!" "Sertifikat tanahmu seluas 1000 meter per segi, bawalah ke rumahku."
Tanpa pikir panjang Turam langsung menelpon salah satu pembantunya yang terpercaya untuk mengantarkan sertifikat tanah yang dimaksud kepada Hudan. Tak berapa lama kemudian, "Halow!" Hudan menghubungi Turam. "Halo, sudah ditanganmu kan?" jawab Turam. "Sudah! Aku akan bawa uangnya ke tempatmu, sekalian kamu tandatangani perjanjiannya."
Setibanya di rumah sakit, Hudan menyodorkan Perjanjian Utang untuk ditandatangani. Disebutkan dalam perjanjian itu, Turam dapat mengangsur utangnya dengan dua kali angsuran dalam satu bulan, sejak hari perjanjian ditandatangani. Jika tidak dapat melunasi, Turam akan dikenakan denda dua kali lipat jumlah hutangnya dan berkelipatan sama di setiap bulannya. Hudan juga mensyaratkan bunga 100%, jika tidak bisa melunasi dalam sebulan bunga akan berlipat menjadi 200%.
"Perjanjian ini aneh!" kata Turam. "Tandatangani saja. Kalau tidak mau, akan kubawa pulang kembali uangku." jawab Hudan. Dengan perasaan kesal, Turam menandatangani perjanjian itu. Hudan menyerahkan uangnya kepada Turam. Turam tidak menyadari bahwa Hudan sudah mulai menghisap darahnya.
Sejak itu Hudan menjadi lebih kaya. Dari bulan ke bulan, harta Turam dihisapnya. Pada bulan ketiga, ia meminta sertifikat tanah yang baru. Akhirnya, tidak sampai setahun. Harta kekayaan Turam habis, utang masih belum terlunasi, tak ada lagi barang yang bisa dijadikan jaminan. Akhirnya Hudan melaporkan Turam ke polisi dan menjadikan Turam sebagai tersangka penipuan. Karena stres yang tak tertahankan, ia mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Hidup Turam berakhir di dalam penjara. Sudah menjadi rahasia umum jika Hudan itu rentenir!, lintah darat!, ia suka memanfaatkan kesusahan orang lain untuk mendapatkan keuntungan.
Hudan tidak menyadari sama sekali, bahwa sudah satu jam lebih isterinya meninggalkan kamar hotel. Ketika bel kamar berbunyi, Hudan tak mempedulikannya, ia malah tambah sewot. "Ah, apa sih Ma? Masuk saja kalau mau! Kalau tidak mau, ya sudah pergi sana!" Bel kamar terus-menerus berbunyi. Hudan akhirnya membuka pintu kamar dengan wajah kesal. Di depan pintu kamar telah berdiri manager hotel dan seorang penerjemah.
"Bapak Hudan?" Tanya Manager Hotel. "Benar." Jawab Hudan. "Menginap di sini bersama isteri?" Manager Hotel melanjutkan pertanyaan. "Benar, ada apa?", "Isteri Anda kecelakaan. Ia melintas jalan depan hotel tidak pada tempatnya. Sebuah mobil yang melintas menabraknya hingga tewas." "Maaaaa...!" Hudan menjerit dan berlari keluar dari hotel, ia tidak menemukan jasad isterinya karena sudah diangkut ke rumah sakit.
Keesokan harinya, setelah pemakaman isterinya, Hudan merenung seorang diri di dalam kamar hotel. Tanpa sadar, ia memperhatikan gambar Ka'bah yang menempel di dinding. Tiba-tiba ia teringat nasihat-nasihat agama yang pernah didengarnya. "Kalau kau berada di Kota Suci Makkah, bisa saja engkau mendapatkan hidayah, disucikan Allah dari dosa-dosamu!". Kata seorang kiyai di kampungnya. Caranya bisa bermacam-macam. Ada yang lewat mimpi, ada juga yang lewat musibah. Semua itu bisa saja terjadi jika Allah berkehendak, untuk mengingatkanmu agar engkau membersihkan diri dari dosa.
Ingatan itu menekan jiwa Hudan. Ia baru saja kehilangan isteri semalam dan dikuburkan pagi ini. "Ah... Turam." Ia teringat Turam. Lelaki yang mengakhiri hidupnya di penjara. "Ah.., tidak. Aku tidak pernah mengambil nyawa orang. Ya! harta orang memang sering. Nyawa tidak pernah." Ia terus membela diri sampai ia benar-benar tertekan dengan nasihat-nasihat agama yang pernah didengarnya. "Apakah aku dikehendaki untuk dibersihkan dari dosa?" Ia tidak tahu harus meminta petunjuk kepada siapa. Jiwanya mengalami tekanan yang luar biasa, sementara ia tak bisa berpikir jernih. Ketika ia melihat gambar Ka'bah itu lagi, tanpa sadar ia lansung menjerit, "Allahu Akbar!"
Kemudian ia berlari keluar kamar menuju lobi hotel, menemui bagian reservasi meminta untuk dicarikan taksi. Ia ingin pergi ke Ka'bah. Di sana ia akan mengadukan dan memohon ampun atas dosa-dosanya yang membuatnya tertekan begitu hebat. Tak lama berselang taksi yang dipesan tiba di depan hotel. Hudan segera masuk dan minta diantarkan menuju Masjidil Haram. Tak disangka ternyata sopir taksi itu juga orang Indonesia.
"Bapak dari Indonesia?" tanya supir itu. "Benar," jawab Hudan pendek. "Kalau ke Ka'bah biasanya orang Indonesia pakai peci, Pak." lanjut supir taksi menjelaskan. "Aku tidak punya peci" balas Hudan. "Kalau begitu aku pinjami." kata si supir. Kemudian Hudan mulai menceritakan seluruh kejadian yang dialaminya kepada supir taksi tersebut. Hudan berkilah bahwa ia tidak pernah membunuh atau menghilangkan nyawa orang. Ia hanya mengambil harta orang-orang itu dengan cara rente.
Supir itu menghentikan taksinya karena memang sudah sampai di Masjidil Haram. Sebelum Hudan turun dari taksi, supir itu mengomentari mengenai Turam yang bunuh diri dipenjara, "Bapak tidak perlu menyangkal bahwa tidak pernah menghilangkan nyawa orang. Orang itu hidupnya dengan harta, Pak. Jika hartanya habis, maka nyawanya juga bisa habis. Jika Bapak merebut seluruh harta Pak Turam, maka Bapak sama saja menghilangkan nyawa Pak Turam. Kalau Bapak tidak percaya, coba saja Bapak hidup tanpa harta. Ya, setelah sekian tahun bergelimang kecukupan dan bahkan berlebihan, Bapak pasti akan stres tanpa harta. Kemudian stres itu akan menikam Bapak perlahan-lahan. Jika Bapak tidak dapat bertahan, maka Bapak akan bunuh diri. Jika Bapak tahan terhadap rasa sakitnya, maka Bapak akan hidup agak lama sampai stres itu benar-benar membunuh Bapak!"
Hudan terdiam mendengar kalimat panjang supir taksi itu. Tanpa sepatah kata, perlahan-lahan ia keluar dari taksi. Matanya menatap Masjidil Haram yang indah itu. Ia belum juga melangkahkan kaki, setelah beberapa menit taksi itu meninggalkan dirinya yang berdiri termangu.
Ia masih belum mengerti apa yang harus dilakukan ketika sampai di Ka'bah. Tetapi hatinya dari tadi mengatakan bahwa ia harus ke Ka'bah. Kemudian perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menuju Ka'bah.
Ka'bah olehnya terlihat begitu agung. Tubuhnya bergetar kuat ketika hampir mendekati Ka'bah. Orang-orang yang berlalu lalang menabraknya. Hudan Rubuh dan terinjak seseorang yang sedang melakukan Tawaf. Kemudian ia bangun lagi, melangkahkan kaki semakin mendekati Ka'bah. Semakin dekat Ka'bah orang yang Tawaf semakin banyak. Ia tidak mampu menembus barisan.
Hudan berdiri sempoyongan. Tubuhnya masih bergetar hebat. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuat di depan Ka'bah. Tetapi ia tetap berdiri di situ, di antara orang-orang yang sedang Tawaf. Tiba-tiba bibirnya bergerak-gerak. "Ya, Allah. Ya, Allah. Tunjukan aku jalan kebaikan." Hanya itu yang mampu dikatakan Hudan. Sampai akhirnya ia benar-benar terjerembab ke lantai dengan mata terpejam. Ketika ia membuka matanya, ia sudah berada diruang perawatan kesehatan.
Setelah pulang ke Tanah Air, Hudan berkunjung ke salah seorang sahabatnya semasa kecil yang ilmu agamanya cukup baik. Ia menceritakan seluruh perilaku buruknya selama menjadi rentenir. Ia juga bercerita soal kejadian yang dialaminya di Tanah Suci Makkah kepada sahabatnya itu.
"Karena engkau tidak punya anak, maka berikan dan sedekahkan seluruh hartamu untuk kemaslahatan Umat Islam," kata sahabat Hudan itu. "Aku akan memberimu modal agar engkau bisa memulai bisnis baru dan mengawali hidup baru". Sejak itu, Hudan benar-benar memulai perjalanan hidupnya dari titik nol kilometer. Ia mulai membangun bisnis kuliner dan menabung. Sampai hari ini, setelah dua tahun lebih menabung, ia berhasil kembali mengunjungi Ka'bah.
Tangannya menengadah gemetar. Air matanya mengucur deras di atas pipinya yang kurus. Bibirnya bergerak-gerak tak jelas bunyinya. Namun dadanya, dada itu penuh haru, rasa syukur telah ditunjukkan jalan yang lebih baik oleh Allah SWT. Ia telah diselamatkan Allah dari dosa riba. Dibersihkan dengan pertobatan yang murni.
Orang-orang yang mengerjakan kejahatan, kemudian bertobat sesudah itu dan beriman; sesungguhnya Tuhan kamu sesudah Tobat yang disertai dengan iman itu adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-A'raaf [7]:153)
Sumber: Kisah-Kisah PerTobatan. Oleh: Ahya Alfi Shobari. Hal.: 169-182
Kisah Kisah Islami
10.30
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Kisah ini kami salin kembali dari FunPage Ustaz, berikut kisahnya :
Di Yaman, tinggalah seorang pemuda bernama Uwais Al-Qarni yang berpenyakit sopak, tubuhnya belang-belang. Walaupun cacat, ia adalah pemuda yang soleh dan sangat berbakti kepadanya Ibunya, seorang wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan menuruti semua permintaan Ibunya. Satu permintaan ibunya yang teramat berat bagi Uwais untuk diturutinya.
"Anakku, mungkin Ibu tak akan lama lagi hidup bersamamu, ikhtiarkanlah agar Ibu dapat mengerjakan haji," pinta Ibunya. Uwais tercenung, perjalanan ke Makkah sangatlah jauh melewati padang pasir tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Namun Uwais sangatlah miskin dan tak memiliki kendaraan apapun untuk keperluan ini.
Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seeokar anak lembu. Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi dia bolak balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. "Uwais gila.. Uwais gila..." kata orang-orang. Yah, kelakuan Uwais memang sungguh aneh. Tak pernah ada hari yang terlewatkan, ia menggendong lembu naik turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan setiap hari, beban anak lembu yang semakin besar itu tak terasa lagi.
Setelah 8 bulan berlalu, sampailah musim Haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kg, begitu juga dengan otot Uwais yang semakin besar. Ia menjadi kuat mengangkat barang. Tahulah sekarang orang-orang apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari. Ternyata ia latihan untuk menggendong Ibunya. Uwais menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Makkah! Subhanallah, alangkah besar cinta Uwais pada ibunya. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya.
Uwais berjalan tegap menggendong ibunya tawaf di Ka'bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka'bah, ibu dan anak itu berdoa. "Ya Allah, ampuni semua dosa ibu," kata Uwais. "Bagaimana dengan dosamu?" tanya ibunya heran. Uwais menjawab, "Dengan terampuninya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridho dari Ibu yang akan membawa aku ke surga."
Subhanallah, itulah keinganan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah SWT pun memberikan karunianya, Uwais seketika itu juga disembuhkan dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih di tengah talapak tangannya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan yang disisakan di tengah talapak tangannya? itulah tanda untuk Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat utama Rasulullah SAW untuk mengenali Uwais.
Beliau berdua sengaja mencari Uwais di sekitar Ka'bah karena Rasullah SAW berpesan "Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengannya mintalah dia berdoa untuk kalian berdua."
"Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu, durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah, membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Kehidupan Uwais Al-Qarni
Pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal di negeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak famili sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.
Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau. Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.
Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.
Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya, dan bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”
Betapa gembiranya hati Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.
Uwais Al-Qarni Berangkat ke Madinah
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga di kota Madinah. Segera ia mencari rumah Nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada di rumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak ia ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “Engkau harus lekas pulang”.
Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.
Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih di tengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “Suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, si penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang Uwais Al-Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari. Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia?
Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan tangan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni.
Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al-Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan do'a dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “sayalah yang harus meminta do'a pada kalian.”
Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Seperti yang dikatakan sebelum wafatnya Rasulullah saw. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Maal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Ketika Uwais Al-Qarni Wafat
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”
Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.
Subhanallah

Bismillahirrahmanirrahim
Pada hari Jumat itu, Udin diminta oleh Kiyai Ahmad untuk mengantarkannya ke kampung sebelah, karena Kiyai Ahmad akan mengisi Khutbah Jum'at di Masjid kampung tersebut. Kebetulan si Udin memang mahir mengemudikan mobil, jadi Udin diminta untuk menyetir mobil Kiyai Ahmad menuju kampung tersebut yang jaraknya memang agak jauh. Karena yang memintanya Kiyai Ahmad maka Udin pun tak kuasa untuk menolak, mengingat Kiyai Ahmad adalah salah satu tokoh agama yang disegani dan ditokohkan oleh masyarakat kampung dimana Udin tinggal.
Menjelang siang Udin sudah berada di rumah Kiyai Ahmad. Kiyai Ahmad pun sudah siap untuk berangkat menuju kampung sebalah. "Ayo!, Din, kita berangkat sekarang!" Ujar Kiyai Ahmad. "Iya, Kiyai," jawab Udin sambil membukakan pintu mempersilahkan Kiyai Ahmad masuk ke dalam mobil.
Mereka tiba di masjid tujuan sebelum azan Sholat Jum'at dikumandangkan. Tanpa menunggu lama lagi, Kiyai Ahmad bersama Udin segera berwudhu dan langsung masuk ke dalam masjid. Ketika masuk waktu sholat, azan pun dikumandangkan oleh Muazin.
Tidak lama kemudian, Kiyai Ahmad dipersilahkan naik ke mimbar untuk menyampaikan Khutbah Jum'at. Di pertengahan khutbah, ternyata Udin mengantuk, kepalanya menunduk-nunduk menahan kantuk. Semalam Udin memang begadang karena menonton siaran langsung sepak bola. Akibatnya siang ini, dia begitu mengantuk.
Saat itu, kotak infak masjid diedarkan. Sebagaimana lazimnya di kampung-kampung, kotak infak tidak ditempatkan didepan pintu masuk tetapi diedarkan secara berantai ketika khutbah sedang berlangsung. Tak berapa lama kemudian tibalah kotak infak itu di hadapan Udin dan kini gilirannya untuk memasukkan uang ke dalam kotak infak tersebut.
Karena sedang mengantuk, dia mengeluarkan dompet dari kantong celana bagian belakang dengan malas. Dia mengambil lembaran uang dua ribu rupiah dari dalam dompetnya dan memasukkannya ke dalam kotak infak. Tiba-tiba seorang lelaki tua yang duduk di shaf belakang menepuk pundak Udin dan menyodorkan uang sebesar dua ratus ribu rupiah kepada Udin. Udin menyangka orang tua itu memintanya memasukkan uang tersebut ke dalam kotak infak. Tanpa pikir panjang Udin memasukkan dua lembar uang kertas pecahan seratus ribu rupiah itu ke dalam kotak infak. Nah, dua ribu rupiah sudah masuk, menyusul dua ratus ribu rupiah juga sudah masuk kotak infak.
Dalam hati Udin bergumam, "Dermawan sekali orang tua ini. Dia ikhlas menginfakkan uang sebesar itu ke masjid." Selanjutnya Udin segera mengedarkan kotak infak itu kepada jemaah di sampingnya. Udin kembali menunduk-nundukkan kepalanya karena menahan kantuk sampai khatib selesai membacakan Khutbah Jum'at.
Saat Iqamah sudah dikumandangkan oleh Muazin, Jemaah Shalat Jum'at mulai berdiri mengatur dan merapikan shaf. Tiba-tiba orang tua yang tadi menyodorkan uang dua ratus ribu rupiah kembali menepuk pundak Udin. "Nak, itu tadi uang kamu, jatuh dari dompetmu, ketika kamu mau mengambil uang untuk dimasukkan ke dalam kotak infak."
Mak.., Jegglaakk..!
Udin terperanjat dan terdiam beberapa saat. Ternyata uang yang dimasukkan ke dalam kotak infak masjid itu adalah uang miliknya juga. Orang tua tadi menyodorkan uang itu kepada Udin karena ingin mengembalikan uang Udin, bukan meminta untuk memasukkannya ke dalam kotak infak. Rasa kantuk yang tadinya begitu kuat menyerang Udin, sirna seketika. Matanya yang tadi merah karena menahan kantuk, kini merah karena menahan tangis.
Kini, tak ada yang dapat dilakukan oleh Udin kecuali pasrah dan ikhlas walaupun terpaksa. Setelah Sholat Jumat selesai, Udin duduk beberapa saat sambil berdoa memohon kepada Allah agar diberi hati yang lapang dan ikhlas. "Udiin.. Udiin..! hari ini kamu benar-benar diberi pelajaran yang amat berharga," gumam Udin di dalam hati.
Dalam kisah di atas dapat dikatakan bahwa Udin tidak sengaja berbuat kebaikan. Perlu diketahui, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kita lakukan. Jadi tidak perlu takut memberi apa yang paling kita sukai karena Allah. Apalagi apa yang diberikan itu jelas untuk kebaikan Umat Islam. Allah telah berjanji untuk menggantinnya sebagaimana yang telah Allah firmankan dalam Al-Quran.
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah [2]:261)
Sumber: Muslim Jenaka. Oleh: Ali Abdullah. Hal.: 65-73.
Kisah Kisah Islami
11.45
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Abrahah adalah penguasa Ethiopia yang berhasil menguasai seluruh daerah Yaman (Gubernur Yaman), ia membangun sebuah gereja besar dan sangat megah di Shan'a (ibukota Yaman), yang oleh Abrahah sendiri diberi nama Qullais. Abrahah bermaksud hendak mengalihkan perhatian orang-orang Arab dari Ka'bah yang telah mereka muliakan berabad-abad lamanya kepada Qullais. Maksud Abrahah ini telah disampaikan kepada Maharaja Habasyah (Ethiopia), Najasyi (Negus). Abrahah mengatakan, "Baginda, kami telah membangun sebuah gereja yang besar dan sangat megah. Kami tidak akan berhenti sebelum dapat mengalihkan perhatian orang-orang Arab dalam melakukan ibadah yang selama ini mereka adakan di Ka'bah kepada Qullais."
Ketika banyak orang Arab mengetahui maksud Abrahah. Seseorang diantara mereka dari kabilah Bani Kinanah yang biasa mengurus peribadatan di Ka'bah tidak dapat menahan amarahnya, secara diam-diam ia masuk ke dalam Qullais lalu membuang air besar di dalamnya dan mengotori bagian-bagian penting gereja tersebut dengan tinja. Ketika Abrahah mendengar perbuatan itu, ia sangat marah kemudian bersumpah hendak menghancurkan Ka'bah. Ia kemudian menyiapkan pasukan yang sangat besar yang diperkuat dengan ratusan ekor gajah. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh Abrahah dan segara bergerak menuju Makkah.
Keberangkatan pasukan Abrahah yang besar dan kuat itu dengan maksud untuk menghancurkan Ka'bah didengar oleh oran-orang Arab. Segera Dzu Nafar, seorang tokoh masyarakat Yaman menghimpun kaumnya untuk menghadang pasukan Abrahah. Akan tetapi dalam menghadapi pasukan Abrahah yang besar dan kuat itu, perlawanan Dzu Nafar dapat dipatahkan bahkan ia sendiri menjadi tawanan pasukan Abrahah.
Pasukan Abrahah terus bergerak melanjutkan perjalanan menuju Makkah. Di sebuah tempat yang bernama Khats'am mereka mendapat perlawanan yang dilancarkan oleh orang-orang Arab dari kabilah Syahran dan Nahis dibawah pimpinan Nufail bin Hudaib Al-Khats'amiy. Akan tetapi perlawanan ini pun dapat dipatahkan oleh pasukan Abrahah dan Nufail pun ditawan. Abrahah tidak membunuh Nufail karena bersedia menjadi pununjuk jalan.
Ketika Abrahah dan pasukannya tiba di Thaif ia disambut oleh Mas'ud bin Mu'attab. Mas'ud bersama kawan-kawannya berkata kepada Abrahah, "Tuanku, kami adalah hamba tuan yang taat dan patuh, kami tidak berbeda pendapat dengan Tuan. Tempat peribadatan kami Al-Laat yang ada di Thaif ini bukanlah tempat peribadatan yang Tuan maksud, bukan Ka'bah yang berada di Makkah, kepada Tuan akan kami kirimkan penunjuk jalan ke Ka'bah." Mendengar pernyataan ini Abrahah gembira dan pergi meninggalkan Thaif menuju Makkah bersama Abu Righal sebagai penunjuk jalan yang sengaja diutus oleh Mas'ud bin Mu'attab. Dalam perjalanan menuju Makkah Abu Righal meningal dunia dan dikuburkan di sebuah tempat yang bernama Al-Mughammis.
Dari Al-Mughammis, Abrahah mengutus seorang yang bernama Al-Aswad bin Maqshud berangkat ke Makkah menunggang kuda. Dalam melaksanakan tugas itu Al-Aswad dan kawan-kawannya merampas kekayaan penduduk Tihamah, termasuk 200 ekor unta milik Abudul Muthalib bin Hasyim yang ketika itu berkedudukan sebagai tokoh dan pemimpin Quraisy. Terhadap tindakan Al-Aswad itu orang-orang Quraisy dari kabilah Kinanah dan Hudzail beserta orang-orang Arab dari kabilah lainnya tidak tinggal diam. Mereka bangkit hendak melakukan perlawanan, tetapi setelah menyadari bahwa kekuatan mereka tidak akan mampu menghadapi pasukan Abrahah akhirnya mereka membatalkan niat semula.
Abrahah mengutus Hunathah Al-Himyariy menemui pemimpin penduduk Makkah untuk memberitahukan bahwa Abrahah tidak bermaksud memerangi penduduk Makkah melainkan untuk menghancurkan Ka'bah. Apabila mereka tidak melawan maka Abrahah tidak akan menumpahkan darah di Makkah. Setibanya di Makkah Hunathah Al-Himyariy segera menemui Abudul Muthalib bin Hasyim dan menyampaikan pesan Abrahah kepadanya. Abdul Muthalib menjawab, "Kami tidak berniat untuk memerangi Abrahah karena kami tidak mempunyai kekuatan untuk itu. Rumah suci itu (Ka'bah) adalah milik Allah yang bangunannya telah ditinggikan oleh Nabi Ibrahim as. Jika Allah hendak mencegah penghancuran yang hendak dilakukan oleh Abrahah, itu adalah urusan Pemilik Rumah Suci itu, tetapi jika Allah hendak membiarkan Rumah sucinya itu dihancurkan orang maka kami tidak sanggup mempertahankannya."
Atas jawaban Abudul Muthalib itu Hunathah menyahut, "Baiklah sekarang Tuan sebaiknya mengikuti kami menghadap Abrahah, karena aku diperintah untuk mengajak Anda supaya datang kepadanya." Abudul Muthalib berangkat bersama beberapa orang anak lelakinya mengikuti Hunathah. Kedatangan Abudul Muthalib disambut baik oleh Abrahah, dihormati dan dipersilahkan duduk bersama di atas satu permadani. Melalui seorang penterjemah Abrahah bertanya, "Adakah yang akan Tuan sampaikan kepada kami?" Abudul Muthalib menjawab, "Aku datang untuk menuntut pengembalian 200 ekor unta milikku yang Tuan rampas." Abrahah heran mendengar jawaban Abudul Muthalib lalu berkata, "Sebenarnya aku kagum melihat Anda, tetapi kekaguman itu hilang sama sekali setelah Tuan berbicara mengenai unta! Apakah patut orang seperti Tuan lebih mengutamakan pembicaraan mengenai pengembalian unta yang telah aku rampas daripada berbicara mengenai Ka'bah yang menjadi syiar agama Tuan dan agama nenek moyang Tuan. Aku datang untuk menghancurkannya, tetapi Tuan tidak berbicara mengenai itu!"
Abudul Muthalib menjawab, "Akulah pemilik unta-unta itu, sedangkan Ka'bah punya Pemilik sendiri yang akan mencegah dan mempertahankannya!" Abrahah menantang, "Tidak ada sesuatu yang dapat mencegah kemauanku!" Abudul Muthalib menjawab, "Silahkan Tuan lakukan." Abrahah menyetujui permintaan Abudul Muthalib untuk mengembalikan unta-unta miliknya. Abudul Muthalib dan rombongannya kemudian kembali ke Makkah. Kepada penduduk Makkah ia memberitahukan apa yang menjadi niat Abrahah. Ia berseru supaya semua penduduk Makkah keluar meninggalkan kota mengungsi ke tempat-tempat yang aman di bukit-bukit dan di lereng-lereng gunung guna menyelamatkan diri dari kekejaman pasukan Abrahah. Sebelum keluar meningalkan Makkah Abudul Muthalib datang menghampiri Ka'bah sambil berpegang pada gelang besi pintunya ia berdoa memohon kepada Allah supaya melindungi keselamatan Ka'bah dari penghancuran yang hendak dilakukan oleh kaum salib dari Habasyah.
Keesokan harinya Abrahah telah siaga bersama pasukannya hendak menyerbu Makkah. Ia menyiapkan gajah tunggangannya yang diberi nama "Mahmud". Ketika pasukan Abrahah telah dihadapkan ke arah Makkah, Nufail bin Hudaib Al-Khats'amiy datang menghampiri gajah yang bernama "Mahmud", sambil memegang telinga gajah itu Nufail berucap, "Hai Mahmud, bersimpuhlah atau pulang kembali ke tempat asalmu (Yaman)! Ketahuilah bahwa engkau sedang berada di tanah suci!" Ternyata "Mahmud" segera bersimpuh, Nufail pun segera berlari menghindar dari ancaman pasukan Habasyah menuju bukit-bukit tempat penduduk Makkah mengungsi. Beberapa orang pasukan Abrahah memukuli "Mahmud" dengan tongkat kayu, tetapi ia tetap bersimpuh tidak mau berdiri. Ketika gajah itu dihadapkan ke arah Yaman, ia berdiri dan lari tergopoh-gopoh, jika kembali dihadapkan ke arah Makkah, ia segera bersimpuh. Begitu pula dengan gajah-gajah lainnya semua mogok jika dihadapkan ke arah Makkah.
Ketika pasukan Abrahah dalam keadaan kebingungan, tiba-tiba Allah SWT mendatangkan beribu-ribu burung kecil. Tiap seekor burung membawa tiga buah batu kecil, sebuah batu ada pada paruhnya dan dua buah yang lain berada pada dua belah kakinya. Batu-batu kecil ini kemudian dijatuhkan tepat di atas pasukan Abrahah sehingga banyak anggota pasukan yang binasa, sebagian yang sempat menyelamatkan diri lari pontang-panting mencari jalan agar dapat pulang kembali ke negerinya Yaman. Sebagian dari mereka mencari Nufail bin Hudaib untuk dimintai pertolongan menunjukkan jalan ke Yaman, tetapi Nufail sendiri ketika menyaksikan pembalasan Allah menimpa pasukan Habasyah ia berkata, "Kemanakah mereka hendak lari menyelamatkan diri dari pembalasan Allah? Abrahah bukan pihak yang menang, melainkan pihak yang kalah."
Abrahah sendiri termasuk korban yang jatuh akibat terkena batu yang mematikan itu. Ketika digotong oleh pasukannya untuk dibawa pulang ke Yaman, jari-jari tangan dan kakinya rontok satu demi satu disertai darah dan nanah yang keluar terus menerus dari kepalanya. Ia tiba di Shan'a dalam keadaan seperti anak ayam yang baru menetas dan pada waktu meninggal dunia jantungnya pecah hingga banyak mengeluarkan darah dari mulut dan hidung. Dikisahkan dari berbagai sumber riwayat, pada tahun itu pula pertama kali di negeri Arab terjadi wabah penyakit tampek (morbilli) dan cacar basah.
Peristiwa sejarah ini diabadikan dalam Al-Qur'an dengan turunnya surat Al-Fiil.
Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah. Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? dan Dia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (QS. Al-Fiil [105]:1-5)
Sepeninggal Abrahah, kedudukannya sebagai penguasa Ethiopia di Yaman digantikan oleh puteranya yang bernama Yaksum. Ia menggunakan nama panggilan seperti ayahnya, yakni "Abrahah". Setelah Yaksum meningal dunia, kekuasaannya jatuh ke tangan saudaranya yang bernama Masruq.
Sumber: Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW. Oleh: H.M.H. Al-Hamid Al-Husaini. Hal.:171-177
Kisah Kisah Islami
10.26
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Nabi Adam AS. dan Ibunda Hawa hidup bahagia di surga, akibat tipu daya Iblis, Adam dan Hawa telah bermaksiat kepada Allah SWT dengan memakan buah dari pohon yang telah Allah haramkan untuk mereka di surga. Sebagai hukuman atas pelanggaran itu mereka diturunkan ke dunia.
Iblis tertawa gembira karena telah berhasil menggoda mereka berdua untuk melanggar larangan Allah SWT. Ia pun akhirnya juga diusir dari surga. Akhirnya mereka bertiga diturunkan ke dunia. Adam dan Hawa sangat menyesali perbuatannya dan sejak saat itu Adam menyadari bahwa Iblis adalah musuh yang nyata baginya dan bagi anak cucunya.
Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam", maka mereka sujud kecuali iblis. Ia membangkang. Maka Kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang, dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya." Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia. Kemudian Tuhannya memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk. Allah berfirman: "Turunlah kamu berdua dari surga bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku, lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS. Thaahaa [20]:116-123)
Nabi Adam AS. dan Ibunda Hawa diturunkan ke dunia secara terpisah. Menurut beberapa ulama dan sebagian para ahli tafsir, Nabi Adam AS. diturunkan oleh Allah di sebuah gunung di daratan India sedangkan Ibunda Hawa diturunkan di sebuah gunung di negeri Hijaz, masing-masing mereka tidak mengetahui keberadaanya.
Adam menangis dan bertobat kepada Rabbnya, demikian pula Hawa. Allah SWT menerima tobat mereka berdua dan berjanji akan memasukkan ke dalam surga untuk kedua kalinya.
Baik Adam maupun Hawa, mereka hidup terpisah seorang diri di atas hamparan bumi yang begitu luas. Adam melihat di sekelilignya dan tidak menemukan satu orang pun, ia memanggil-manggil, tapi tak ada suara yang didengarnya kecuali gema suaranya sendiri. Ia teringat pada hari ketika masih disurga. Malaikat berkeliling mengitari 'Arsy Allah sambil mengucapkan tasbih, tahmid, tahlil dan takbir mensucikan dan mengagungkan Allah SWT. Adam bergumam lirih "Wahai Rabb, sendiri aku bertasbih kepada-Mu di atas bumi yang luas ini, tidakkah ada orang lain yang juga bertasbih kepada-Mu?"
Allah kemudian berjanji kepada Adam akan menjadikan keturunan dan anak cucunya sebagai orang-orang yang bertasbih membangun masjid-masjid untuk shalat dan berzikir kepada-Nya. Di antara masjid-masjid tersebut salah satunya akan menjadi Baitullah Al-Haram (rumah Allah yang suci). Itulah Rumah Allah yang pertama kali dibangun di muka bumi ini.
Adam bertanya, "Wahai Rabb, dimanakah letak Baitullah Al-Haram itu?" Allah memberi petunjuk kepada Adam bahwa Baitullah itu berada di Makkah, negeri Allah yang suci. Adam akhirnya berangkat ke Mekkah mengikuti petunjuk dari Allah, ia ingin segera bertawaf mengelilingi Baitullah sebagaimana para malaikat berputar mengelilingi Baitul Ma'mur di langit dan disekitar 'Arsy Allah SWT.
Sesampainya di Makkah, dari kejauhan Adam melihat ada bayangan manusia lain, ia mendekat ke arah banyangan itu, setelah semakin dekat sosok bayangan itu rupanya adalah seorang wanita. Adam sangat merasa senang karena ternyata sosok wanita itu adalah Hawa, isterinya tercinta.
Pertemuan Adam dan Hawa terjadi di Makkah di puncak sebuah bukit, maka kemudian bukit tersebut dikenal dengan sebutan bukit Arafah.
Adam dan Hawa kemudian pergi ke Baitullah Al-Haram di Makkah. Mereka mendapatinya masih dalam bentuk sebuah batu mutiara berwarna putih. Adam dan Hawa lantas melakukan Tawaf mengelilinginya dan banyak berzikir kepada Allah. Setelah itu mereka melakukan perjalanan untuk kembali ke daratan India, tempat dimana Adam diturunkan.
Perjalanan yang menyenangkan. Adam merasa sangat bahagia karena Allah telah menerima tobatnya. Akan tetapi, kehidupan dunia adalah kehidupan yang melelahkan, dan kehidupan melelahkan itu telah dimulai. Jika sebelumnya, ketika masih di surga Adam dan Hawa tidak pernah mengenal yang namanya rasa lapar dan dahaga, maka di dunia, lapar dan dahaga adalah naluri perut manusia.
Allah pun mengutus malaikat Jibril turun menemui Adam. Malaikat Jibril turun dengan membawa beberapa butir biji gandum untuk disemai dan ditanam. Ia kemudian mengajarkan Adam cara bercocok tanam, membuat api dan mengolah butiran biji gandum sampai menjadi adonan hingga dimasak dan siap untuk dimakan.
Hari-hari nan bahagia dan penuh kesenangan di surga itu, kini telah berakhir dan berganti dengan hari-hari penuh derita di dunia. Keduanya tidak mungkin kembali ke surga kecuali setelah meninggal dunia. Sungguh waktu yang sangat panjang.
Betapa keras kehidupan dunia bila dibandingkan dengan kehidupan di surga. Begitulah kiranya kondisi Adam dan Hawa. Keduanya beraktifitas di alam yang sepi lagi luas ini. Berjuang keras tanpa ada orang lain yang membantu dan menolong. Setelah beberapa lama menjalani kehiduan dunia, Allah kemudian menurunkan ajaran dan syariatnya kepada Adam sebagai tuntunan dalam beribadah, menyembah hanya kepada Allah SWT.
Sumber: Kisah Teladan Dalam Al-Qur'an. Oleh: Hamid Ahmad Ath-Thahir. Hal. 9-17
Kisah Kisah Islami
11.01
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Bismillahirrahmanirrahim
Inilah kisah,
Perang Dzatush Shawari
Yang telah membuat mereka terluka
Pertempuran dahsyat mencengangkan
Yang sanggup mengubah sejarah Laut Tengah
Dendam pun terkuak
Dalam setiap diri yang perwira
Meski semua
Karena prakarsa-Nya jua
Namun Konstantinopel,
Tetap merasa terhina
Luka pun membelit hingga ke relun hati
Dalam waktu yang lama
Dan sangat lama.
Inilah bait syair yang menggambarkan dahsyatnya perang yang berkecamuk di Laut Tengah, tatkala armada laut pertama kaum muslimin berhasil mengalahkan armada laut Bangsa Romawi yang terkenal sangat tangguh. Kekalahan ini, bagi Bangsa Romawi sangat membekas dan meninggalkan luka dendam yang tak terperihkan.
Laut Tengah tempo dulu. Suasana asri berpadu dengan birunya pantulan langit di air laut yang hangat, indah sekali. Segarnya semilir angin laut yang khas menggetarkan setiap jiwa melankolis yang terpaut dengannya.
Disebuah sudut di tepian Laut Tengah itu tampak sepasukan angkatan laut Kaum Muslimin tengah bersiap diri. Ya, inilah Pasukan Angkatan Laut Islam pertama yang dibangun oleh Mu'awiyah bin Abu Sufyan pada masa kekhalifahan Utsman bin Affan. Armada ini dibangun, terutama ditujukan untuk membantu pasukan muslimin menghalau serangan laut yang sering menghancurkan kota-kota pelabuhan di Syam.
Hari itu, sekitar tahun 34 Hijriyah. Pasukan Muslim dan pasukan Bangsa Romawi bertemu di dekat Iskandariyah. Dengan bersenjata lengkap dan jumlah yang tidak bisa dibilang sedikit, iring-iringan armada laut Bangsa Romawi sempat menggetarkan hati Pasukan Angkatan Laut Muslimin yang masih muda usia ini.
"Sungauh, kami tak pernah melihat iring-iringan pasukan sebanyak ini" cetus Malik bin Aus Al-Hadtsan setengah tak percaya.
Tiba-tiba angin bertiup kencang. Perahu-perahu merapat di dermaga. Kaum Muslimin dan Bangsa Romawi pun berlabuh untuk beberapa saat. Keduanya nampak saling berdekatan.
Tatkala angin mereda, kaum Muslimin berkata, "Sekarang kita telah aman dari gangguan angin."
"Benar," jawab mereka.
"Kita bertempur di pelabuhan ini atau di tengah laut. Supaya kita tahu siapa yang lebih dulu hancur?" sergah kaum Muslimim.
"Kita bertempur di tengah laut," jawab pasukan Romawi tak kalah lantang.
Kaum Muslimin mengikatkan perahunya satu sama lain.
Perang bergolak. Kedua belah pihak saling serang. Mereka bertempur di atas armada, saling menyabetkan pedang. Begitu dahsyat dan hebat. Dan satu demi satu korban pun berjatuhan, terhempas ombak yang tak kalah ganas.
Mayat menumpuk. Air laut pun memerah. Bau amis darah begitu menyesakkan dada. Korban berguguran di pihak Muslim. Sementara jumlah korban tewas di pihak musuh, tak terbilang jumlahnya. Hari itu, pasukan Muslimin telah menunjukkan kesabaran yang tak terperihkan. Dalam sejarah peperangan manapun juga.
Pertolongan langit pun tiba. Allah pun menunjukkan kuasa-Nya kepada kaum Muslimin maupun tentara Romawi yang terlibat dalam peperangan hebat tersebut.
Tak dinyana, Angkatan Laut Muslim yang masih belia itu mampu manaklukkan kebesaran dan ketanguhan bala tentara Romawi, ditandai dengan banyaknya jumlah pasukan mereka yang terbunuh dan terluka. Tentu saja kekalahan ini pun membuat pasukan yang telah tersohor kehebatannya itu begitu terpukul.
Luka baru terkuak. Luka yang menancap dalam relung hati barisan pasukan Konstantinopel. Luka itu bahkan terus menganga, membekas hinga waktu yang sangat panjang...
(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: "Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut." Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (Ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu). (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang telah beriman." Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka. (QS. Al-Anfaal [8]:9-12)
Sumber : Ayat-ayat Pedang - Kisah Kisah Pembangun Semangat Juang. Oleh : Layla TM. Hal. : 129-132
Kisah Kisah Islami
11.09
New Google SEO
Bandung, Indonesia
Baihaqi meriwayatkan, bahwa seorang laki-laki telah bertanya kepada Jabir bin Samarah, "Apakah Rasulullah SAW wajahnya seperti pedang?" Jabir menjawab, "Tidak, melainkan bulat seperti matahari dan bulan." Hadits ini juga diriwayatkan oleh Muslim dengan sanad yang berbeda.
Di dalam riwayat Imam Ahmad disebutkan dengan tambahan, "Dan saya melihat di atas pundaknya ada stempel kenabian sebesar telur burung dara menyerupai warna kulit tubuhnya."
Diriwayatkan dari Abu Thufail, dia berkata, "Saya telah menyaksikan Nabi SAW dan tidak ada seorangpun yang pernah menyaksikan beliau masih hidup selain saya," kami katakan kepadanya, "Sifatkanlah kepada kami tentang fisik Rasulullah SAW." Dia mengatakan, "Dia itu berkulit putih bersih dan berwajah sangat tampan." Diriwayatkan oleh Muslim dari Said bin Mansur.
Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib RA. dari beberapa jalur, dia berkata, Rasulullah SAW telah mengutus saya ke Yaman. Pada suatu hari saya berkhutbah di hadapan orang banyak dan ada seorang Pendeta Yahudi berdiri, di tangannya memegang kitab suci (Taurat) yang sedang dibacanya. Ketika melihat saya dia berkata, "Beritahukan kepada kami sifat-sifat fisik Abu Qasim." Maka Ali bin Abu Thalib berkata, "Rasulullah itu tubuhnya tidak pendek dan juga tidak tinggi sekali, rambutnya tidak keriting sekali dan juga tidak lurus. Dia, rambutnya berombak, kepalanya kokoh besar, rambutnya ada sentuhan warna kemerah-merahan, tulang-tulang persendiannya terlihat kokoh, jari tangan dan kakinya kuat, bulu dadanya hingga perut lebat, bulu matanya panjang, kedua alis matanya bersambung, dadanya bidang dan kedua pundaknya kekar dan jika berjalan bergoyang seakan-akan turun dari jalan yang melandai. Saya belum pernah melihat orang seperti beliau sebelum dan sesudahnya."
Ali bin Abu Thalib berkata, "Kemudian saya diam", lalu pendeta itu berkata kepadaku, "Lalu apa lagi?", Ali berkata, "Hanya ini yang dapat saya katakan." Pendeta itu berkata, "Pada kedua matanya terdapat warna kemerahan, jenggotnya sangat bagus, mulutnya indah dan kedua telinganya sangat sempurna, jika menghadap ke depan maka ia menghadap dengan seluruh badannya dan jika menoleh ke belakang dia menoleh dengan seluruh tubuhnya." Maka Ali bin Abu Thalib berkata, "Demi Allah, semua itu adalah sifat-sifat beliau." Pendeta itu berkata, "Dan ada sesuatu yang lain?" Ali bertanya, "Apa itu?" Pendeta itu berkata, "Dan bagian atas punggung dekat lehernya sedikit besar?" Ali menjawab, "Itulah yang saya katakan kepadamu tadi, yaitu seakan-akan beliau sedang turun dari tanah yang melandai." Pendeta itu berkata, "Sesungguhnya saya mendapatkan kesemuanya itu di dalam kitab suci bapak-bapakku. 'Apakah kamu dapatkan dia diutus di Tanah Haram Allah dan rumah-Nya, kemudian berhijrah ke tanah haram yang diharamkan oleh dia sendiri, lalu mempunyai kehormatan seperti kehormatan tanah haram yang diharamkan oleh Allah. Kamu mendapatkan pembelanya (Kaum Anshar), yang kepada mereka dia berhijrah suatu kaum dari anak Umar bin Amir yang sebelumnya beragama Yahudi'." Ali bin Abu Thalib menjawab, "Benar, benar..!, dialah Rasulullah SAW." Pendeta itu berkata, "Jika begitu, sesungguhnya saya bersaksi bahwa dia adalah seorang nabi, dia adalah utusan Allah kepada seluruh manusia. Atas dasar itulah saya hidup, mati dan dibangkitkan In Sha Allah."
Perawi mengatakan, "Maka Pendeta itu selalu datang kepada Ali bin Abu Thalib supaya diajarkan Al-Qur'an dan syariat-syariat Islam, kemudian Ali meninggalkan Yaman, sedang Pendeta itu menetap di Yaman hingga meninggal pada masa kekhalifahan Abu Bakar As-Shidiq. Dia beriman kepada Rasulullah SAW dan membenarkan kenabiannya.
Dalam riwayat lain di dalam Shahih Bukhari, dari Hamad bin Zaid, dari Tsabit, dari Anas, dia berkata, "Saya tidak pernah memegang permadani, sutera dan sesuatu apapun lebih halus daripada telapak tangan Rasulullah SAW dan saya tidak pernah mencium wewangian yang lebih wangi daripada wangi tubuh Rasulullah SAW."
Diriwayatkan pula dari Anas, dia berkata, "Rasulullah SAW itu, badannya sangat harum dan keringatnya seolah-olah dari permata. Apabila berjalan tubuhnya bergoyang. Saya tidak pernah menyentuh sehelai sutera pun atau permadani lebih lembut daripada telapak tangan Rasulullah SAW dan saya tidak pernah mencium minyak misik dan juga minyak ambar lebih harum daripada harumnya Rasulullah SAW."
Pemberitaan tentang berbagai sifat fisik Nabi SAW sangat banyak. Kesemuanya menunjukkan, bahwa Allah telah mengaruniakan kepadanya bentuk fisik dan akhlak yang paling bagus dan sempurna, sehingga manusia tidak berpaling dari dakwahnya dengan dalih buruk fisiknya. Dalam hal ini, keadaan beliau tidak berbeda dengan keadaan para nabi dan rasul lainnya.
Diriwayatkan di dalam hadits, bahwa cap (stempel) kenabian yang terdapat di antara pundaknya sebesar telur burung dara menyerupai warna kulitnya. Imam Bukhari dan ulama-ulama sebelumnya mengatakan bahwa cap kenabian terdapat di antara dua pundak Rasulullah SAW, sebagai isyarat bahwasanya tidak ada nabi lagi sesudahnya. Bukhari menambahkan bahwa sebagian ulama berpendapat letak cap itu di antara dua pundak, karena tempat tersebut merupakan tempat masuknya setan ke dalam diri manusia. Maka, cap tersebut merupakan penjagaan bagi Nabi SAW dari masuknya setan.
Adapun tentang kemuliaan asal-usulnya dan kesucian nasabnya, telah diriwayatkan di dalam banyak hadits. Antara lain ialah hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah RA., bahwa Rasulullah SAW bersabda,
"Saya dibangkitkan dari Zaman paling baik dari zaman bani Adam, masa demi masa, hingga saya dilahirkan pada zaman kelahiranku."
Di dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari Wailah bin Asqa', dia berkata, "Rasulullah SAW telah bersabda,"
"Sesungguhnya Allah telah memilih Quraisy dari Bani Ismail, dan memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan memilih diri saya dari Bani Hasyim. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman, 'Allah telah mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan'."
Sumber : Keagungan Mukjizat Nabi Muhammad SAW. Oleh : Syeikh Said Abdul Azhim. Hal. 96-100
Kisah Kisah Islami
11.25
New Google SEO
Bandung, Indonesia